
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI JEPARA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa hewan yang jenisnya beraneka
ragam sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai peranan
penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan hasil hewan lainnya serta jasa
bagi manusia, dan karenanya pemanfaatan dan pelestariannya perlu diarahkan
untuk kesejahteraan masyarakat;
|
b.
|
bahwa untuk mencapai maksud tersebut
perlu diselenggarakan kesehatan hewan yang melindungi kesehatan manusia,
hewan, tumbuhan dan lingkungan sebagai prasyarat terselenggaranya peternakan
yang maju, berdaya saing dan berkelanjutan serta penyediaan pangan asal hewan
yang aman, sehat, utuh, dan halal;
|
||
c.
|
bahwa dengan perkembangan keadaan
tuntutan otonomi daerah dan globalisasi, peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan
kesehatan hewan perlu dibuat sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Jepara;
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b dan huruf c, perlu dibentuk peraturan daerah tentang penyelenggaraan
peternakan dan kesehatan hewan.
|
||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa
Tengah;
|
2.
|
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996
tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 99,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656);
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
|
||
5.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
|
||
6.
|
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015);
|
||
7.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234);
|
||
8.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit
Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1977 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3101);
|
||
9.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3253);
|
||
10.
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor
129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509);
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3867);
|
||
12.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Republik
|
||
13.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi (Lembaran Negara Republik
|
||
14.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik
|
||
15.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 82);
|
||
16.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah
Tingkat II Jepara Nomor 6 Tahun 1990 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Dati II Jepara (Lembaran Daerah Kabupaten
Daerah Tingkat II Jepara Tahun 1990 Nomor 7);
|
||
17.
18.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Jepara
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintahan Daerah Kabupaten Jepara (Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun
2008 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor 2);
Peraturan daerah kabupaten jepara
nomor 2 tahun 2011 tentang Rencana tata ruang wilayah Kabupaten jepara tahun
2011-2031 ( lembaran daerah Kabupaten jepara tahun 2011 nomor 2, tambahan
lembaran daerah kabupaten jepara nonor 2).
|
||
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN
JEPARA
Dan
BUPATI JEPARA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah
adalah Daerah Kabupaten Jepara.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
3.
Bupati
adalah Bupati Jepara.
4.
Dinas
adalah satuan perangkat daerah yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang Pertanian
dan Peternakan Kabupaten Jepara.
5.
Peternakan
adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumberdaya fisik, benih, bibit
dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen pasca
panen, pengolahan, pemasaran dan pengusahaannya.
6.
Hewan
adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di
habitatnya.
7.
Ternak
adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan,
bahan baku
industri, jasa-jasa dan/atau hasil-hasil ikutannya yang terkait dengan
pertanian.
8.
Ternak
lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah
dikembangbiakkan di Indonesia
sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau
manajemen setempat.
9.
Kesehatan
hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan
hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan
peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan.
10.
Peternak
adalah perorangan warga negara Indonesia
atau korporasi yang melakukan usaha peternakan.
11.
Tenaga
ahli peternakan adalah orang yang memiliki kompetensi dan profesional di bidang
pemuliaan, reproduksi, pakan, nutrisi, budidaya, pengolahan hasil
ternak,dan/atau sosial ekonomi peternakan sesuai dengan pendidikan formal dan/atau
pelatihan keahlian dibidang peternakan bersertifikat.
12.
Setiap
orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum, yang melakukan kegiatan di bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
13.
Perusahaan
peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan
hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha
peternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
14.
Usaha
di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang
menunjang upaya-upaya dalam mewujudkan kesehatan masyarakat veteriner.
15.
Veteriner
adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan yang
mempengaruhi kesehatan manusia.
16.
Medik
Veteriner adalah penyelenggara kegiatan praktek kedokteran hewan.
17.
Tenaga
kesehatan hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang kesehatan
hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan medik veteriner yang hierarkis
sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan
bersertifikat.
18.
Inseminasi
buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak
betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi
dengan tujuan agar ternak bunting.
19.
Inseminator
adalah pelaksana pelayanan Inseminasi Buatan (IB) yang mempunyai kompetensi
dibidangnya.
20.
Dokter
hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Bupati sesuai
kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka
penyelenggaraan kesehatan hewan.
21.
Medik
reproduksi adalah penerapan medik veteriner
dalam penyelenggaraan kesehatan hewan dibidang reproduksi hewan.
22.
Kesehatan
Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan
produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan
manusia.
23.
Pelayanan
Kesehatan Hewan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan, diagnosa, prognosa,
pengobatan/ therapi, vaksinasi, desinfeksi dan pencegahan penyakit hewan
lainnya.
24.
Obat
Hewan adalah semua jenis obat yang diperuntukan sebagai pengobatan hewan.
TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan peternakan
dan kesehatan hewan bertujuan untuk :
a. Mencukupi kebutuhan pangan,
barang dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan
bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat.
b. Melindungi, mengamankan, dan/atau
menjamin daerah dari ancaman yang mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia,
hewan, tumbuhan dan/atau lingkungan.
PETERNAKAN
Bagian Kesatu
Benih, Bibit dan Bakalan
Pasal 3
(1) Penyediaan dan pengembangan
benih, bibit dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi lokal.
(2) Pemerintahan Daerah memfasilitasi
pengembangan usaha pembibitan dan/atau pembenihan yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan.
(3) Setiap benih atau bibit
yang beredar wajib memiliki sertifikat kelayakan benih atau bibit, yang dikeluarkan
oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi.
Pasal 4
(1)
Pemerintahan
Daerah mengusahakan sumber bibit pada wilayah yang berpotensi menghasilkan
suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis yang tinggi untuk sifat
produksi dan/atau reproduksi.
(2)
Wilayah
sumber bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di tetapkan oleh Bupati, dengan
mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, sosial ekonomi, budaya
serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 5
(1) Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga pelayanan pembibitan ternak, Pemerintah Daerah mengatur penyediaan dan
penempatan tenaga Inseminator untuk melayani inseminasi buatan sesuai dengan
kebutuhan.
(2) Tenaga Inseminator
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari tenaga ATR /
Kemajiran, Inseminator, dan Pengawas Bibit Ternak.
(3) Tenaga ATR / Kemajiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari Dokter Hewan dan Dokter Hewan Spesialis.
(4) Tenaga Inseminator
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari Diploma Peternakan, Diploma
Kesehatan Hewan, Sarjana Kedokteran Hewan dan atau Petugas yang telah mempunyai
sertifikat bidang reproduksi dari Instansi / Pejabat yang berwenang.
Pasal
6
(1) Pelayanan Inseminasi buatan
meliputi pelayanan jasa inseminasi, pelayanan jasa ATR /
Kemajiran, pelayanan jasa kebuntingan dan pelayanan kesehatan reproduksi
lainnya.
(2) Setiap orang yang melakukan
usaha di bidang pelayanan kesehatan reproduksi dan inseminasi buatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara mandiri wajib memiliki ijin usaha
dari Bupati.
(3) Ijin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk 5 tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(4) Ketentuan mengenai syarat
dan tata cara perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Pakan
Pasal 7
(1) Setiap orang yang melakukan
usaha budidaya ternak wajib mencukupi kebutuhan pakan ternaknya.
(2) pembinaan dalam rangka
untuk mencukupi kebutuhan pakan yang baik dilakukan oleh satuan kerja yang
membidangi peternakan.
Pasal 8
(1) Pengawasan terhadap
pengadaan dan peredaran bahan baku
pakan dan tumbuhan/ tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara
terkoordinasi antar satuan kerja perangkat daerah.
(2) Koordinasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan lahan untuk keperluan budidaya
tanaman pakan, pengadaan dan pemasukan pakan dari luar daerah.
(3) Pengadaan dan/atau
pembudidayaan tanaman pakan dilakukan melalui sistem pertanaman monokultur
dan/atau terpadu dengan jenis tanaman lain dengan tetap mempertimbangkan
ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang sistem budidaya
tanaman.
(4) Dalam rangka pengadaan
pakan dan/atau bahan baku pakan yang tergolong
bahan pangan, daerah mengutamakan bahan baku
pakan lokal.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang
memproduksi pakan dan atau bahan baku
pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memperoleh izin usaha.
(2) Pakan yang dibuat untuk
diedarkan harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal, keamanan
pakan dan pembuatannya memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik.
(3) Pakan sebagaimana ayat (2)
harus berlabel sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Setiap orang dilarang:
a.
mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b.
menggunakan dan atau mengedarkan pakan ruminansia yang
mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang.
c.
menggunakan pakan yang dicampur antibiotik dan/atau
hormon tertentu sebagai imbuhan pakan.
(5)
Izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau
kembali setiap 5 tahun.
(6)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perijinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Peternakan
Pasal 10
Pemerintah daerah melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pengadaaan dan peredaran alat dan mesin
peternakan dan kesehatan hewan.
Bagian
Keempat
Budidaya
Pasal 11
(1) Budidaya merupakan usaha
untuk menghasilkan hewan peliharaan dan produk hewan.
(2) Pengembangan budidaya dapat
dilakukan dalam suatu kawasan budidaya sesuai dengan ketentuan tata ruang.
(3) Pelaksanaan budidaya dengan
pemanfaatan satwa liar dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang konversi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melakukan
budidaya ternak wajib memiliki izin usaha peternakan dan/atau Tanda Daftar
Usaha Peternakan dari Bupati.
(2) Izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menurut jumlah dan jenis ternak dalam skala usaha
tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini.
(3) Peternak dan perusahaan
wajib mengikuti tata cara budidaya ternak yang baik dengan tidak mengganggu
ketertiban umum.
(4)
Izin Usaha Peternakan dan/ atau Tanda Daftar Usaha
Peternakan berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(5)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perijinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 13
(1) Peternak dapat melakukan
kemitraan usaha di bidang budidya ternak berdasarkan perjanjian yang saling
memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antar peternak, atau peternak dengan
perusahaan peternakan dan perusahaan di bidang lainnya seperti bidang kesehatan
hewan, perkebunan, pertanian, perikanan, kehutanan serta dengan Pemerintah,
Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten.
(3) Dinas melakukan pembinaan
kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
di bidang kemitraan usaha.
Pasal 14
Pemerintah Daerah memberikan pembinaan
untuk pengembangan budidaya yang dilakukan oleh peternak menjadi usaha
peternakan yang menguntungkan serta mendorong memberikan fasilitas untuk
pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan badan usaha di bidang peternakan yang
menguntungkan.
Bagian Kelima
Panen, Pascapanen,
Pemasaran dan Industri Pengolahan Hasil Peternakan
Pasal 15
(1) Peternak dan perusahaan
peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk mendapatkan hasil produksi
dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2) Pelaksanaan panen hasil
budidaya harus mengikuti syarat kesehatan hewan, keamanan hayati dan kaidah
agama, etika serta estetika untuk menjamin keamanan bagi konsumen.
Pasal 16
(1) Pemerintah daerah
memfasilitasi pengembangan unit-unit pascapanen produk hewan skala kecil
menengah bersama dengan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat.
(2) Pemerintah daerah memfasilitasi
berkembangnya unit usaha pasca panen yang memanfaatkan produk hewan sebagai
bahan baku
pangan, pakan, farmasi dan industri.
Pasal 17
(1) Pemerintah daerah memfasilitasi
kegiatan promosi dan distribusi produk hewan di dalam negeri maupun ke luar
negeri.
(2) Promosi dan distribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi
protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang.
(3) Pemerintah daerah melakukan
upaya untuk menciptakan mekanisme pasar yang sehat bagi produk hewan.
Pasal 18
(1) Pemerintah daerah mendorong
dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk hewan dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku
lokal.
(2) Pemerintah daerah mendorong
terselenggaranya kemitraan yang sehat antara industri pengolahan dengan
peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan produk asal hewan yang digunakan
sebagai bahan baku
industri.
Bagian Keenam
Penyebaran dan
Pengembangan Ternak
Pasal 19
(1) Untuk penyebaran dan
Pengembangan Ternak Pemerintah daerah dapat membentuk kawasan peternakan, yang
bertujuan untuk meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan populasi dan
produksi ternak dalam rangka memberdayakan masyarakat melalui wadah kelompok
tani ternak.
(2) kawasan peternakan
sebagaimana dimaksud ayat (1) berdasarkan hasil identifikasi serta sesuai
dengan tata ruang.
(3) Kawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 20
Lokasi penyebaran ternak harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Bebas dari penyakit hewan menular;
b.
Sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat;
c.
Sesuai dengan Tata Ruang Kabupaten Jepara;
d.
Didukung kelancaran dalam pemasaran ternak;
e.
Daya dukung lokasi wilayah memadai.
Pasal 21
(1) Setiap jenis ternak yang
akan disebarkan harus sesuai dengan dengan lokasi penyebaran dan persyaratan
teknis yang telah ditentukan.
(2) Setiap jenis dan jumlah
ternak yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan daya tampung lokasi dan
kemampuan penggaduh dalam memelihara ternak sebagai ternak unggulan di lokasi
yang bersangkutan.
PENGENDALIAN PENYAKIT, OBAT DAN
PERALATAN KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu
Pengendalian Penyakit Hewan
Pasal 22
Pengendalian penyakit hewan
merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk pengamatan dan
pengindentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan dan/atau pengobatan.
Pasal 23
(1) Pengamatan penyakit hewan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dilakukan melalui kegiatan surveillans dan
pemetaan, penyidikan dan peringatan dini serta pemeriksaan dan pengujian.
(2) Pengamatan penyakit hewan
dilakukan oleh dinas yang membidangi peternakan.
(3) Dalam hal pengamatan
penyakit hewan Pemerintah Daerah dapat
melakukan kerjasama dengan laboratorium di wilayah sekitar dan atau
Laboratorium Regional terdekat.
Pasal 24
(1) Pengamatan terhadap
penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilaksanakan antara lain
melalui:
a.
pengendalian penyakit hewan menular
strategis;
b.
penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan;
c. penerapan prosedur biosafety
dan biosecurity;
d. pengebalan hewan;
e. pengawasan lalu lintas
hewan, produk hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya di luar wilayah
kerja karantina;
f.
pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner; dan/atau
g. penerapan kewaspadaan dini.
(2) Ketentuan pengamatan terhadap
penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
(3) Setiap orang atau badan
hukum yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk hewan
dan/atau media pembawa penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan teknis kesehatan hewan..
Pasal 25
(1) Pengamatan terhadap jenis
penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis di lakukan oleh
masyarakat.
(2)
Setiap
orang atau badan usaha yang memelihara dan/atau mengusahakan hewan wajib
melakukan pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis
Pasal 26
(1) Pengendalian penyakit hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu
lintas hewan, isolasi hewan sakit atau tersangka sakit, penanganan hewan sakit,
pemusnahan bangkai, eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan.
(2) Depopulasi hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan status
konservasi hewan dan/atau status mutu genetik hewan.
(3) Pemerintah Daerah tidak
memberikan kompensasi kepada orang atau badan hukum atas tindakan depopulasi
terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan kompensasi bagi hewan sehat
yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi
sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
Pasal 27
Setiap orang yang berusaha dibidang
peternakan mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian
tersebut kepada Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat.
Pasal 28
(1) Apabila daerah dinyatakan
sebagai daerah wabah, maka pemerintah daerah menutup wilayah tertular, melakukan
pengamanan dan pemberantasan serta pengobatan penyakit hewan.
(2) Dalam hal wabah penyakit
hewan menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata merupakan penyakit
hewan menular eksotik, maka seluruh hewan yang tertular harus dilakukan
tindakan pemusnahan dengan memperhatikan status konservasi hewan yang
bersangkutan.
(3) Tindakan pemusnahan hewan
langka dan/atau yang dilindungi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dibidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Setiap orang dilarang
mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan dan/atau media pembawa
penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau tersangka ke daerah bebas.
Pasal 29
(1)
Pengobatan hewan menjadi tanggung
jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun
dengan bantuan tenaga kesehatan hewan.
(2) Hewan atau kelompok hewan
yang menderita penyakit dan tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter
hewan dapat dieutanasi dan/atau dimusnahkan atas permintaan pemilik hewan,
peternak atau perusahaan peternakan.
(3) Eutanasi atau pemusnahan
hewan atau kelompok hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
dokter hewan dan/atau tenaga kesehatan hewan dibawah pengawasan dokter hewan
dengan memperhatikan ketentuan kesejahteraan hewan.
Bagian Kedua
Obat Hewan
Pasal 30
(1)
Berdasarkan sediaannya obat hewan dapat digolongkan kedalam
sediaan biologik, farmakoseutika dan obat alami.
(2)
Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya,
obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat
keras, obat bebas terbatas dan obat bebas.
Pasal 31
(1) Obat hewan yang dibuat dan
disediakan dengan maksud untuk diedarkan di daerah harus memiliki nomor
pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pihak berwenang.
(2) Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas penyediaan dan peredaran obat hewan.
Pasal 32
(1)
Obat
keras yang digunakan untuk pengamanan dan/atau pengobatan terhadap penyakit
hewan hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.
(2)
Pemakaian
obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan hewan dibawah pengawasan dokter hewan.
(3)
Setiap
orang atau badan hukum dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak
yang produknya untuk konsumsi manusia.
Pasal 33
(1) Setiap orang yang berusaha
dibidang pengadaan dan/ atau peredaran obat hewan wajib memiliki izin usaha dari
Bupati.
(2) Setiap orang dilarang
membuat, menyediakan dan/atau mengedarkan obat hewan yang :
a. tidak memiliki nomor
pendaftaran;
b. tidak diberi label
penandaan;
c. tidak memenuhi standar mutu
;
d. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia ;
(3) Izin usaha sebagaimana
dimaksud ayat 1 berlaku untuk 5 (lima )
tahun dan dilakukan survaillance setiap tahun.
(4) Tata cara dan persyaratan
pengajuan izin usaha sebagaimana
dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bupati.
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN
HEWAN
Bagian Kesatu
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Pasal 34
Kesehatan masyarakat veteriner
merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk :
a.
pengendalian
zoonosis;
b.
penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan
produk hewan;
c.
penjaminan
higiene dan sanitasi;
d.
pengembangan
kedokteran perbandingan (comparative medicine); dan
e.
penanganan
bencana yang bersumber dari hewan dan atau penyakit hewan (disaster medicine).
Pasal 35
(1) Dalam rangka menjamin Bahan Asal Hewan(BAH) dan Hasil
Bahan Asal Hewan (HBAH)
yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, Bahan Asal Hewan
(BAH) dan Hasil Bahan Asal Hewan (HBAH).
(2) Pengawasan dan pemeriksaan
produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu
pemotongan, peredaran dalam keadaan segar, sebelum diawetkan dan peredaran
setelah diawetkan.
(3) Produk hewan yang
diproduksi di dan/atau dimasukkan ke daerah untuk diedarkan wajib disertai
sertifikat veteriner.
Pasal 36
Pemerintah daerah melakukan
pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan Bahan Asal hewan yang dihasilkan oleh unit usaha skala
rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan memperoleh Nomor Kontrol Veteriner(NKV).
Pasal 37
(1)
Pemotongan
hewan yang dagingnya diedarkan harus :
a.
dilakukan
di rumah potong hewan dan bagi unggas di Rumah Pemotongan Unggas; dan/ atau
b.
mengikuti
cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat dan kesejahteraan
hewan.
(2)
Dalam
rangka menjamin ketentraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf b harus mengindahkan kaidah agama dan unsur kepercayaan
yang dianut masyarakat.
(3)
Ketentuan
tentang pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi
pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan
darurat.
Pasal 38
(1)
Juru
periksa daging melakukan pemeriksaan daging dan bagian bagian badan lainnya
dari hewan yang sudah disembelih.
(2)
Daging
dan bagian bagian badan hewan yang dinyatakan baik diberi stempel dengan tinta daging khusus yang tidak
mengandung racun, sedangkan yang dinyatakan afkir dapt dimusnahkan oleh juru
periksa daging atau dokter hewan.
(3)
Juru
Periksa daging melakukan tugasnya dibawah pengawasan dan tanggung jawab Dokter
Hewan Yang Berwenang.
Pasal 39
(1) Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi.
(2) Untuk mewujudkan higiene
dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pengawasan,
inspeksi, audit, surveillans serta pembinaan tempat produksi, rumah pemotongan
hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan dan tempat
penjualan/ penjajaan, alat dan mesin produk hewan serta orang yang terlibat
secara langsung dengan aktifitas tersebut.
(3) Kegiatan higiene dan
sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter hewan
berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner yang didukung dengan
pemeriksaan dan pengujian terhadap cemaran mikroba, residu, obat hewan dan/atau
bahan kimia.
Pasal 40
Untuk mengantisipasi
ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau
perubahan lingkungan sebagai dampak bencana alam diperlukan kesiagaan dan cara
penanggulangan terhadap zoonosis dan masalah higiene dan sanitasi lingkungan.
Bagian Kedua
Kesejahteraan Hewan
Pasal 41
(1)
Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan
yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan, pengandangan;
pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; cara pemotongan dan pembunuhan; serta
perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2)
Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi meliputi :
a. penangkapan
dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan peraturan perundangan
di bidang konservasi;
b. tempat
dan perkandangan harus memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku
alaminya;
c. pemeliharaan
dan perawatan hewan wajib dilakukan sedemikian rupa sehingga hewan bebas dari
rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, rasa takut
dan tertekan;
d. pengangkutan
hewan dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga hewan bebas dari rasa
takut dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;
e. penggunaan
dan pemanfaatan hewan dilakukan sedemikian rupa sehingga hewan bebas dari
penganiayaan dan penyalahgunaan;
f. pemotongan
dan pembunuhan hewan dilakukan secara manusiawi sehingga hewan bebas dari rasa
sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dan
g. perlakuan
dan pengayoman yang wajar oleh manusia terhadap hewan diwujudkan dalam tindakan
yang manusiawi dalam penyediaan tempat dan atau perkandangan, pemeliharaan dan
perawatan, pengangkutan, cara pemotongan dan pembunuhan.
(3)
Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan
sebagian hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
Pasal 42
Pemerintah Daerah bersama masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan hewan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat 1.
PELAYANAN KESEHATAN HEWAN
Pasal 43
(1) Pelayanan kesehatan hewan
meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner (veterinary laboratory), pelayanan jasa laboratorium, pemeriksaan
dan pengujian veteriner (veterinary
inspection), pelayanan jasa medik veteriner, pelayanan jasa paramedik
veteriner, pusat kesehatan hewan dan/atau pos kesehatan hewan.
(2) Setiap orang yang berusaha
dibidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki izin usaha dari Bupati.
Pasal 44
(1) Tenaga medik veteriner
melaksanakan segala urusan kesehatan hewan berdasarkan kompetensi medik
veteriner yang diperolehnya dalam pendidikan kedokteran hewan.
(2) Tenaga paramedik veteriner
dan sarjana kesehatan hewan melaksanakan urusan kesehatan hewan kecuali yang tidak
menjadi kompetensinya dan dilakukan dibawah penyeliaan dokter hewan.
Pasal 45
(1) Tenaga kesehatan hewan yang
melakukan pelayanan kesehatan hewan secara mandiri wajib memiliki Surat izin praktek
kesehatan hewan dari Bupati.
(2) Surat izin dimaksud sebagaimana
dalam ayat (1) berlaku setiap 5(lima
) tahun.
(3) Ketentuan mengenai syarat
dan tata cara perijinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
BAB VII
PEMBERDAYAAN PETERNAK,
PERUSAHAAN PETERNAKAN DAN USAHA
DI BIDANG KESEHATAN HEWAN
Pasal 46
(1)
Pemberdayaan peternak, perusahaan peternakan dan usaha di
bidang peternakan dan kesehatan hewan dilakukan mulai dari memberikan kemudahan
dalam memperoleh sumberdaya dan sarana produksi, proses produksi, panen dan
pascapanen, promosi dan pemasaran, serta pelayanan kesehatan hewan.
(2)
Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.
sumber pembiayaan/ permodalan, aksesibilitas ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta informasi;
b.
pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan, dan
bantuan teknik;
c.
menghindari pengenaan biaya yang menimbulkan ekonomi
biaya tinggi;
d.
membina kemitraan dalam meningkatkan sinergi antar pelaku
usaha;
e.
menciptakan iklim usaha yang kondusif dan/atau
peningkatan kewirausahaan;
f.
mengutamakan pemanfaatan sumberdaya peternakan dan
kesehatan hewan lokal;
g.
memfasilitasi terbentuknya kawasan pengembangan usaha
peternakan; dan/atau
h.
memfasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran.
Pasal 47
(1) Pemerintah Daerah melindungi
peternak dari perbuatan yang mengandung unsur pemerasan oleh pihak lain untuk
memperoleh pendapatan yang layak.
(2) Pemerintah daerah mencegah
penyalahgunaan kebijakan di bidang permodalan yang ditujukan untuk pemberdayaan
peternak, perusahaan peternakan, dan usaha kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah mencegah
penyelenggaraan kemitraan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang
menyebabkab terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak.
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 48
(1) Sumberdaya manusia
peternakan dan kesehatan hewan meliputi aparat pemerintah, seluruh pelaku usaha
dan semua pihak yang terkait dengan bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(2) Sumberdaya manusia
peternakan dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu
ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya agar lebih terampil, profesional,
mandiri, berdedikasi dan berakhlaq mulia.
(3) Pengembangan kualitas
sumberdaya manusia peternakan dan kesehatan hewan dilaksanakan dengan cara :
a.
pendidikan
dan pelatihan;
b.
penyuluhan;
dan/atau
c.
metode
pengembangan lainnya dengan memperhatikan kebutuhan kompetensi kerja, budaya
masyarakat serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(4) Pemerintah Daerah melalui
institusi pendidikan dan dunia usaha memfasilitasi dan mengembangkan pendidikan
dan pelatihan, serta penyuluhan yang berkaitan dengan penyediaan sumberdaya
manusia yang kompeten di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
(5) Pemerintah Daerah menyelenggarakan
penyuluhan peternakan dan kesehatan hewan serta mendorong dan membina peran serta
masyarakat untuk melaksanakan peternakan dan kesehatan yang baik.
BAB IX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 49
(1)
Penelitian dan pengembangan peternakan dan kesehatan
hewan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, institusi pendidikan, lembaga
swadaya masyarakat, atau dunia usaha baik secara sendiri-sendiri maupun
bekerjasama.
(2)
Pemerintah Daerah mendorong adanya kerjasama yang baik
antar penyelenggara penelitian dan pengembangan di bidang peternakan dan
kesehatan hewan.
PENYIDIKAN
Pasal 50
(1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan
penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.
(2)
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai
adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah ;
b.
Melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan ditempat
kejadian ;
c.
Menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d.
Melakukan penyitaan benda atau surat;
e.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi ;
g.
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara ;
h.
Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat
petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan
hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.;
i.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan.
(3)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 51
(1) Setiap pemegang izin yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi administrasi berupa :
a. Peringatan
tertulis;
b. Penghentian
sementara seluruh kegiatan; dan
c. Pencabutan
ijin;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan prosedur pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Bupati.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
(1)
Ketentuan pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (3),
Pasal 6 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 12
ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37, Pasal 43 ayat (2), Pasal 45 ayat
(1), Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 56 diancam pidana kurungan paling lama 3 (
tiga) bulan atau denda paling banyak 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
(2)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
Pasal 53
Terhadap
perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindaka pidana dalam suatu
ketentuan peraturan perundang- undangan lainya, diancam pidana sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Dengan
diundangkannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1987
Tentang Pemeriksaan Kesehatan Ternak Yang Dijual Di Pasar Ternak Kabupaten
Daerah Tingkat II Jepara ( Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Tahun 1987 Nomor 6
Seri B Nomor 1), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 55
Dalam hal
setiap orang yang melakukan kegiatan usaha di bidang peternakan dan kesehatan
hewan yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah
ini, maka harus disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah
ini diundangkan.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai
teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut oleh Bupati.
Pasal 57
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jepara.
Ditetapkan di Jepara
pada tanggal 3
Nopember 2011
BUPATI JEPARA,
ttd
HENDRO MARTOJO
Diundangkan di
Jepara
pada tanggal 3 Nopember 2011
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN JEPARA,
ttd
SHOLIH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JEPARA TAHUN 2011 NOMOR 15
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
KABUPATEN JEPARA
NOMOR 15
TAHUN 2011
TENTANG
PENYELENGGARAN
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
I.
PENJELASAN
UMUM
Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan
dalam satu peraturan karena mempunyai keterkaitan yang sangat erat dan memiliki
peranan penting dalam aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Aspek ekonomi adalah
meningkatkan produktivitas hewan atau ternak dengan memperbaiki kesehatannya
dan menghilangkan kerugian yang ditimbulkan oleh adanya penyakit. Sedangkan
aspek sosialnya adalah memberikan jaminan ketersediaan pangan asal hewan yang
aman, sehat, utuh, dan halal. Di samping itu, pengaturan dengan satu peraturan
akan memudahkan Pemerintah Daerah dan semua pemangku kepentingan yang bergerak
di bidang peternakan dan kesehatan hewan dalam memahami dan melaksanakan
berbagai ketentuan dalam peraturan ini.
Sejalan dengan hal tersebut di atas dan untuk melakukan
pemahaman hukum khususnya yang terkait dengan peternakan dan kesehatan hewan
serta dengan diberlakukannya Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mendorong kemampuan
Daerah dalam pelaksanaan otonominya, maka dalam rangka memenuhi tuntutan
kebutuhan regulasi dan dinamika sosial ekonomi masyarakat perlu ditetapkan
Peraturan Daerah di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang dapat memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan ketentraman batin masyarakat dalam
penyelenggaraan semua kegiatan yang berkaitan dengan peternakan dan kesehatan
hewan.
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf
a
Yang dimaksud dengan “pangan” adalah produk hewan yang
dapat dikonsumsi, diantaranya, telur, daging, susu, madu beserta turunannya.
Yang dimaksud dengan “barang” adalah produk hewan yang
digunakan untuk bahan baku industri, di antaranya, kulit, tanduk, tulang, kuku,
bulu, darah, serta kotoran ternak atau feses beserta turunannya.
Yang dimaksud dengan “jasa” adalah penggunaan tenaga
ternak untuk kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya, di antaranya, kegiatan
usaha tani, pariwisata, olahraga, hobi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ancaman” antara lain yaitu penyakit
hewan, cemaran biologik, kimiawi, fisik, maupun salah kelola (missmanagement)
dan salah urus (missconduct) dalam penyelenggaraan peternakan dan
kesehatan hewan.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wilayah sumber bibit ternak” adalah
wilayah kecamatan, kabupaten, provinsi atau pulau, tergantung pada rumpun,
jumlah, dan sebaran bibit serta kondisi wilayah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tenaga ATR
(Asisten Teknik Reproduksi) adalah Petugas yang mempunyai keahlian dibidang
teknik reproduksi yang secara legal menjadi asisten Dokter Hewan atau Dokter
Hewan Spesialis
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Inseminasi buatan” adalah teknik
memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk
dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar
ternak bunting.
Yang dimaksud Kesehatan Reproduksi adalah Semua kondisi
kesehatan ternak yang berkaitan dengan keadaan dan fungsi organ reproduksi
hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Survaillance adalah kegiatan penelusuran dan inspeksi
termasuk monitoring dan evaluasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pakan” meliputi bahan pakan, pakan
konsentrat, tumbuhan pakan, imbuhan pakan, pelengkap pakan, pakan olahan, dan
bahan lain yang dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Yang dimaksud dengan “pakan konsentrat” adalah pakan yang
kaya sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap
pakan dan atau imbuhan pakan.
Yang dimaksud dengan “tumbuhan pakan” adalah tumbuhan
yang tidak dibudidayakan maupun yang dibudidayakan (tanaman pakan), baik yang
diolah maupun tidak diolah yang dapat dijadikan pakan, seperti rumput dan
legume.
Yang dimaksud dengan “imbuhan pakan (feed additive)”
adalah bahan baku pakan yang tidak mengandung zat gizi atau nutrisi (nutrien),
yang tujuan pemakaiannya terutama untuk tujuan tertentu, seperti xantophyl
(untuk manipulasi warna kuning telur).
Yang dimaksud dengan “pelengkap pakan (feed supplement)”
adalah zat yang secara alami sudah terkandung dalam pakan tetapi jumlahnya
perlu ditingkatkan dengan menambahkannya dalam pakan, seperti asam amino,
vitamin, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan “pakan olahan” adalah pakan yang
telah mengalami proses fisik, kimia atau biologi baik tunggal maupun campuran,
seperti silase dan ransum jadi untuk unggas.
Yang dimaksud dengan “bahan lain” adalah bahan penolong
untuk mengolah bahan baku menjadi pakan, seperti: bahan pengikat dalam
pembuatan pelet.
Yang dimaksud dengan “bahan pakan” adalah bahan hasil
pertanian, perikanan, dan peternakan atau bahan lain yang layak digunakan
sebagai pakan baik yang diolah maupun yang belum diolah, seperti: dedak,
jagung, tepung ikan, tepung tulang non ruminansia, dan tepung darah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pakan yang baik” adalah, antara
lain, meliputi serat, karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral baik
yang berasal dari tumbuhan, hewan, jasad renik, dan bahan anorganik dalam
bentuk premiks.
Premiks merupakan imbuhan pakan atau pelengkap pakan yang
pemberiannya dicampurkan ke dalam pakan atau air minum.
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebijakan ketersediaan
pakan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pertanian, perindustrian,
perdagangan, bea cukai, pengawasan obat dan makanan, dan instansi terkait
lainnya. Penyediaan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan pemasukan
dari luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cara pembuatan pakan yang baik, misalnya dalam hal proses
produksi, dan pembuatan pakan harus menjamin pakan mengandung cemaran biologi,
fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta
memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang
digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pakan yang dilarang untuk diedarkan
yaitu pakan yang:
1. tidak berlabel;
2. kedaluwarsa;
3. kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, berubah
warna;
dan/atau
4. palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi
tidak sesuai
dengan label, menggunakan merek orang lain.
Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
penyakit sapi gila (bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada
domba/kambing.
Yang dimaksud dengan ruminansia adalah hewan yang memamah
biak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “antibiotik”, antara lain, chloramphenicol
dan tetracyclin.
Yang dimaksud
dengan “hormon tertentu” adalah hormon sintetik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menghasilkan hewan peliharaan”,
antara lain, mendomestikasikan satwa liar menjadi ternak, hewan jasa, hewan
laboratorium, dan hewan kesayangan.
Yang dimaksud dengan “hewan jasa”, antara lain, adalah
hewan yang dipelihara untuk memberi jasa kepada manusia untuk menjaga rumah,
melacak tindakan kriminal, membantu melacak korban kecelakaan, dan sebagai
hewan tarik atau hewan beban.
Yang dimaksud dengan “hewan laboratorium” adalah hewan
yang dipelihara khusus sebagai hewan percobaan, penelitian, pengujian,
pengajaran, dan penghasil bahan biomedik ataupun dikembangkan menjadi hewan model
untuk penyakit manusia.
Yang dimaksud dengan “hewan kesayangan” adalah hewan yang
dipelihara khusus sebagai hewan olah raga, kesenangan, dan keindahan.
Ayat (2)
“Kawasan budidaya peternakan” adalah lokasi pengusahaan
ternak dalam suatu wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan berdasarkan
kesesuaian agroklimat, ketersediaan sarana dan prasarana, potensi wilayah, dan
potensi pasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak mengganggu ketertiban umum”
adalah kegiatan budi daya ternak dilakukan dengan memerhatikan kaidah agama
dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat,
seperti harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Gangguan (Hinder Ordonnantie).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Kemitraan usaha tersebut meliputi, antara lain bagi hasil
(gaduhan), sewa, kontrak farming, sumba kontrak, maro bati, inti plasma,
atau bentuk lain sesuai dengan budaya lokal, dan kebiasaan masyarakat setempat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”perusahaan di bidang lain” adalah
perusahaan yang bergerak di sektor hulu, misalnya, usaha pembibitan; atau di
sektor hilir, misalnya, usaha pengolahan hasil ternak seperti industri susu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai syarat keamanan hayati hanya berlaku
untuk produk hasil rekayasa genetik.
Yang dimaksud dengan “kaidah etika” dalam pelaksanaan
panen hasil budi daya adalah kesadaran untuk menerapkan asas-asas moral,
misalnya penyortiran anak ayam umur sehari yang tidak memenuhi kriteria tetap
diperlakukan dengan memperhatikan kaidah kesejahteraan hewan.
Yang dimaksud dengan “kaidah estetika” dalam pelaksanaan
panen hasil budi daya adalah kesadaran untuk menerapkan asas-asas kesesuaian
dan keharmonisan dalam melakukan pemanenan hasil budi daya, misalnya kesesuaian
antara wadah susu dengan susu yang dipanen.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pangan bergizi seimbang” adalah
kondisi pangan yang komposisi protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin,
dan serat kasar dalam satu-kesatuan asupan konsumsi sesuai dengan umur, jenis,
dan kebutuhan untuk aktivitas tubuh.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “menciptakan mekanisme pasar yang
sehat”, antara lain, memberikan informasi pasar, serta melakukan survei dan
kajian terhadap monopoli usaha peternakan secara horizontal/vertikal yang dapat
membahayakan kepentingan nasional.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Industri pengolahan produk hewan”
adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil
peternakan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan
memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal (asuh).
Yang dimaksud dengan “mengutamakan bahan baku dari dalam
negeri”, misalnya, dalam industri pengolahan susu sedapat mungkin menggunakan
susu dari hasil pemerahan sapi perah dalam negeri.
Ayat (2)
Nilai tambah dari kegiatan industri pengolahan hasil
peternakan harus dapat dinikmati secara berkeadilan oleh semua pihak yang
terlibat dalam usaha peternakan, termasuk peternak yang bergerak di bidang budi
daya peternakan melalui berbagai pola kemitraan usaha industri pengolahan hasil
peternakan, misalnya, kemitraan industri pengolahan susu dengan peternak sapi
perah dalam bentuk koperasi dan inti plasma serta kemitraan dengan kalangan
pendidikan untuk meningkatkan usaha dan gizi.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud daya tampung lokasi adalah kemampuan
daerah/wilayah dalam mencukupi kebutuhan bagi ternak baik pakan, minum maupun
kandang sesuai kebutuhan ternak.
Yang dimaksud kemampuan penggaduh adalah kemampuan baik
tenaga, tempat, waktu dan biaya agar ternak dapat dipelihara secara baik dan
terawat.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan “pengamatan dan pengidentifikasian
penyakit hewan” adalah tindakan untuk memantau ada tidaknya suatu penyakit
hewan tertentu di suatu pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan sebagai
langkah awal dalam rangka kewaspadaan dini.
Yang dimaksud dengan “pencegahan penyakit hewan” adalah
tindakan karantina yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan
dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu
area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pengamanan penyakit hewan” adalah
tindakan yang dilakukan dalam upaya perlindungan hewan dan lingkungannya dari
penyakit hewan.
Yang dimaksud dengan “pemberantasan penyakit hewan”
adalah tindakan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan
hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan
daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan,
penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang
meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan.
Yang dimaksud dengan “pengobatan penyakit hewan” adalah
tindakan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan
kebugaran dan ketahanan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi
terapetik, penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan
prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca
pengobatan.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kegiatan surveilans” adalah
pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di
lapangan dalam rangka mengamati penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit.
Untuk melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini diperlukan
pengidentifikasian hewan.
Yang dimaksud dengan “penyidikan” adalah kegiatan untuk
menelusuri asal, sumber, dan penyebab penyakit hewan dalam kaitannya dengan
hubungan antara induk semang dan lingkungan.
Ayat (2)
Bupati dalam menetapkan jenis, peta, dan status situasi
penyakit hewan didasarkan pada kajian epidemiologis dan analisis risiko yang
dilakukan oleh otoritas veteriner.
Ayat (3)
Bupati dalam menetapkan laboratorium berdasarkan pada
kriteria:
a. keberadaan sumber daya manusia yang kompeten;
b. sarana dan prasarana laboratorium yang memadai; dan
c. metodologi yang sahih.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Penyakit Hewan Strategis adalah penyakit penyakit hewan
yang pernah menyerang di Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat
sebagai penyakit hewan strategis.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”biosafety” adalah kondisi
dan upaya untuk melindungi personel atau operator serta lingkungan laboratorium
dan sekitarnya dari agen penyakit hewan dengan cara menyusun protokol khusus,
menggunakan peralatan pendukung, dan menyusun desain fasilitas pendukung.
Yang dimaksud dengan “biosecurity” adalah kondisi
dan upaya untuk memutuskan rantai masuknya agen penyakit ke induk semang
dan/atau untuk menjaga agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu
laboratorium tidak mengontaminasi atau tidak disalahgunakan, misalnya, untuk
tujuan bioterorisme.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengebalan hewan” adalah vaksinasi,
imunisasi (pemberian antisera), peningkatan status gizi dan hal lain yang mampu
meningkatkan kekebalan hewan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “di luar wilayah kerja karantina”
adalah pelabuhan laut, sungai, dan perbatasan negara yang belum menjadi wilayah
kerja karantina dan dapat berpotensi sebagai tempat pemasukan dan pengeluaran
lalu lintas hewan dan produk hewan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kesiagaan darurat veteriner” adalah
tindakan antisipatif dalam menghadapi ancaman penyakit hewan menular eksotik.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kewaspadaan dini” adalah tindakan
pengamatan penyakit secara cepat (early detection), pelaporan
terjadinya tanda munculnya penyakit secara cepat (early reporting), dan
pengamanan secara awal (early response) termasuk membangun kesadaran
masyarakat.
Ayat (2)
Dalam menyusun pedoman pemberantasan penyakit hewan
menular, Bupati bersama otoritas veteriner memerhatikan: (a) ketentuan dari
Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (World Organization For Animal Health);
(b) perkembangan penyakit hewan menular yang terjadi di luar wilayah Kabupaten
Jepara; dan/atau dengan (c) perbandingan langkah-langkah dan harmonisasi
penanganan penyakit hewan menular oleh daerah lain.
Ayat (3)
Ketentuan persyaratan teknis kesehatan hewan dimaksudkan
untuk dapat menelusuri kegiatan pengamanan dalam rangka pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan.
Pasal 25
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar peternak, pemilik hewan,
dan perusahaan peternakan menyadari bahwa pencegahan penyakit hewan menular
yang tidak strategis menjadi tanggung jawab masyarakat. Pengamanan terhadap
penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis yang dilakukan oleh
masyarakat dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas.
Ayat (2)
Sudah sewajarnya peternak, pemilik hewan, atau perusahaan
peternakan dibebani kewajiban untuk mencegah penyakit hewan karena kesehatan
menjadi tangung jawabnya. Tugas pemerintah daerah sifatnya membantu dan
memfasilitasi.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”penutupan daerah” adalah penetapan
daerah wabah sebagai kawasan karantina.
Yang dimaksud dengan “pengeradikasian penyakit hewan”
adalah tindakan pembasmian penyakit hewan, seperti pembakaran, penyemprotan
desinfektan, dan penggunaan bahan kimia lainnya untuk menghilangkan sumber
penyakit.
Yang dimaksud dengan “pendepopulasian hewan” adalah
tindakan mengurangi dan/atau meniadakan jumlah hewan dalam rangka mengendalikan
dan penanggulangan penyakit hewan, menjaga keseimbangan rasio hewan jantan dan
betina, dan menjaga daya dukung habitat. Depopulasi meliputi kegiatan (a)
pemotongan terhadap hewan yang tidak lolos seleksi teknis kesehatan hewan, (b)
pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter), (c) pemusnahan populasi
hewan di areal tertentu (stamping-out), (d) pengeliminasian hewan yang
terjangkit dan/atau tersangka pembawa penyakit hewan, dan (e) pengeutanasian
hewan yang tidak mungkin disembuhkan dari penyakit untuk mengurangi
penderitaannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “status konservasi hewan” adalah
kondisi populasi jenis hewan tertentu yang terancam punah sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya serta Convention in Trade of Wild Fauna and
Flora of Endangered Species (CITES).
Tindakan pemusnahan hewan langka dan/atau yang dilindungi
yang tertular oleh penyakit hewan menular eksotik dilakukan oleh otoritas
veteriner melalui koordinasi dengan instansi yang berwenang di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pengecualian dapat diberikan
untuk menghindari kepunahan spesies hewan tersebut di satu pihak dan dilakukan
dengan cara yang menjamin penyakit hewan menular eksotik tersebut tidak akan
menyebar ke hewan lainnya di lain pihak.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak memberikan kompensasi”
ditujukan kepada hewan yang tertular penyakit hewan menular eksotik.
Yang dimaksud dengan ”penyakit eksotik” adalah penyakit
yang belum pernah ada di wilayah atau daerah tersebut.
Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui
bahwa pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi penyakit hewan menular
strategis tidak mendapatkan kompensasi mengingat hewan tersebut dipastikan akan
mati.
Ayat (4)
Yang maksud dengan “pemerintah daerah memberikan
kompensasi bagi hewan sehat” adalah jika penyakit tersebut bukan penyakit hewan
menular eksotik, contohnya dalam pemberantasan brucellosis dan anthrax.
Pasal 27
Penyakit hewan menular yang wajib dilaporkan antara lain
antraks, Septicemia Epizoties (SE), Brucelosis, Avian Influenza
(AI), tetelo (New Castle Disease), Hog Cholera, Rabies.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan penutupan daerah” adalah
penutupan dari lalu lintas hewan dan produk hewan yang menjadi media pembawa
penyakit hewan dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar pemilik hewan, peternak, atau
perusahaan peternakan benar-benar bertanggung jawab atas hewan yang sakit;
misalnya dalam pembiayaan pengobatan hewan sakit.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “visum” adalah keterangan tertulis
yang menyatakan kondisi, diagnosis, dan prognosis penyakit hewan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sediaan biologik” adalah obat hewan
yang dihasilkan melalui proses biologik pada hewan atau jaringan hewan untuk
menimbulkan kekebalan, mendiagnosis suatu penyakit atau menyembuhkan penyakit
melalui proses imunologik, antara lain berupa vaksin, sera (antisera),
hasil rekayasa genetika, dan bahan diagnostika biologik.
Yang dimaksud dengan “sediaan farmakoseutika” adalah obat
hewan yang dihasilkan melalui proses nonbiologik, antara lain, vitamin, hormon,
enzim, antibiotik, dan kemoterapeti lainnya, antihistamin, antipiretik, dan
anestetik yang dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi.
Yang dimaksud dengan “sediaan premiks” adalah obat hewan
yang dijadikan imbuhan pakan atau pelengkap pakan hewan yang pemberiannya
dicampurkan ke dalam pakan atau air minum hewan.
Yang dimaksud dengan ”sediaan obat alami” adalah bahan
atau ramuan bahan alami yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang
digunakan sebagai obat hewan. Golongan obat alami meliputi obat asli Indonesia
maupun obat asli dari negara lain untuk hewan yang tidak mengandung zat kimia
sintetis dan belum ada data klinis serta tidak termasuk narkotika atau obat
keras dan khasiat serta kegunaannya diketahui secara empirik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “obat keras” adalah obat hewan yang
bila pemakaiannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi
hewan dan/atau manusia yang mengonsumsi produk hewan tersebut.
Yang dimaksud dengan “obat bebas terbatas” adalah obat
keras untuk hewan yang diberlakukan sebagai obat bebas untuk jenis hewan
tertentu dengan ketentuan disediakan dalam jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan
dan cara pemakaian tertentu serta diberi tanda peringatan khusus.
Yang dimaksud dengan “obat bebas” adalah obat hewan yang
dapat dipakai pada hewan secara bebas tanpa resep dokter hewan.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “obat hewan tertentu” adalah obat
hewan yang mengakibatkan terjadinya residu pada produk hewan dan mengakibatkan
gangguan kesehatan pada orang yang mengonsumsi produk hewan tersebut, contohnya
adalah Chlorampenicol, Dihydro-streptomycin (DHS), dan Dietilstilbestrol
(DES ).
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tidak memenuhi standar mutu”,
yaitu, antara lain, kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan
fisik, kimiawi, dan biologik.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Huruf a
Yang dimaksud dengan “zoonosis”, jenisnya, antara lain,
rabies, antrakss, avian influenza, salmonellosis, leptospirosis, dan
toksoplasmosis.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penjaminan keamanan, kesehatan,
keutuhan, dan kehalalan produk hewan” adalah serangkaian tindakan dan kegiatan
untuk mewujudkan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.
Yang dimaksud dengan “produk hewan” antara lain, yaitu
daging, susu, telur, serta produk olahannya dan produk hewan lainnya misalnya
kulit, bulu, tulang, tanduk, kuku, serta bahan baku pakan asal hewan.
Yang dimaksud dengan “penjaminan keamanan produk hewan”
adalah pengupayaan dan pengondisian produk hewan yang tidak mengandung bahaya
biologi, kimiawi, dan fisik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan,
dan/atau fungsi lingkungan.
Yang dimaksud dengan “penjaminan kesehatan produk hewan”
adalah pengupayaan dan pengondisian pangan asal hewan yang memenuhi persyaratan
nutrisi yang diperlukan untuk kesehatan manusia dan tidak mengandung bibit
penyakit.
Yang dimaksud dengan “penjaminan keutuhan produk hewan”
adalah pengupayaan dan pengondisian pangan asal hewan yang tidak bercampur
dengan produk lain yang tidak sejenis.
Yang dimaksud dengan “penjaminan kehalalan produk hewan”
adalah pengupayaan dan pengondisian produk hewan yang diperoleh sesuai dengan
syariat agama Islam.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penjaminan higiene dan sanitasi”
adalah pengupayaan dan pengondisian untuk mewujudkan lingkungan yang sehat bagi
manusia, hewan, dan produk
hewan.
Yang dimaksud dengan “higiene” adalah kondisi lingkungan
yang bersih yang dilakukan dengan cara mematikan atau mencegah hidupnya jasad
renik patogen dan mengurangi jasad renik lainnya untuk menjaga kesehatan
manusia.
Yang dimaksud dengan “sanitasi” adalah tindakan yang
dilakukan terhadap lingkungan untuk mendukung upaya kesehatan manusia dan
hewan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kedokteran perbandingan (comparative
medicine)” adalah disiplin ilmu kedokteran yang membandingkan persamaan dan
perbedaan hal-hal yang berkaitan dengan proses biologi, fisiologi, patologi,
dan perkembangan penyakit (patogenesis), termasuk respons dari proses
tersebut akibat pengaruh lingkungan, berbagai bentuk perlakuan alamiah dan/atau
perlakuan buatan, yang terjadi pada manusia dan hewan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “penanganan bencana” adalah tindakan
terhadap timbul dan/atau akibat zoonosis yang meluas pada masyarakat dan
mengancam kesejahteraan hewan.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tempat produksi adalah
tempat pembuatan atau barang/bahan tersebut diproduksi
Tempat Pemotongan : tempat
dimana hewan yang akan dijual dipotong.
Dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi dan peran
Rumah Potong Hewan.
Yang dimaksud dengan “produk hewan segar” adalah semua
bahan yang berasal dari hewan yang belum diolah untuk keperluan konsumsi,
farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan
kemaslahatan manusia, misalnya, daging, telur, susu, dan tulang.
Yang dimaksud dengan “produk hewan olahan” adalah semua
bahan yang berasal dari hewan yang telah diolah untuk keperluan konsumsi,
farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan
kemaslahatan manusia
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “nomor kontrol veteriner (NKV)”
adalah nomor registrasi unit usaha produk hewan sebagai bukti telah dipenuhinya
persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan
produk hewan.
Bagi unit usaha produk hewan yang mengedarkan produk
hewan segar di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dagingnya diedarkan” adalah
mendistribusikan daging untuk kepentingan komersial dan nonkomersial seperti
pemberian bantuan kepada warga masyarakat yang membutuhkan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rumah potong” adalah suatu bangunan
atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi
persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau,
kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat. Keharusan memotong
hewan di rumah potong dimaksudkan untuk mencegah zoonosis.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menjamin ketenteraman batin
masyarakat” adalah pengupayaan dan pengondisian dalam rangka pemenuhan syarat
hewan yang halal untuk dikonsumsi dan tata cara pemotongan hewan tersebut
sesuai dengan syariat agama Islam.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “residu” adalah akumulasi obat atau
bahan kimia dan/atau metabolitnya dalam jaringan dan organ hewan setelah
pemakaian obat atau bahan kimia secara sengaja untuk pencegahan/pengobatan,
sebagai imbuhan pakan atau secara tidak sengaja terkontaminasi senyawa
tersebut.
Yang dimaksud dengan “cemaran” adalah masuknya atau
kejadian adanya suatu bahaya (hazard) kimia dan/atau mikrobiologi termasuk
mikroba pada produk hewan dan pakan hewan baik langsung maupun tidak langsung
yang dapat menyebabkan produk hewan dan pakan hewan tidak utuh, sehingga dapat
mengganggu kesehatan manusia, hewan, dan/atau lingkungan.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “manusiawi” adalah tindakan yang
merujuk pada etika dan nilai kemanusiaan, seperti tidak melakukan penyiksaan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk
memeroleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan di
luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan
sapi.
Yang dimaksud dengan “penyalahgunaan” adalah tindakan
untuk memeroleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memerlakukan
hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan
hewan tersebut, misalnya pencabutan kuku kucing.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan sanksi kepada
setiap orang yang melakukan tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan hewan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hewan yang tidak bertulang belakang
yang bisa merasakan sakit”, antara lain, adalah kepiting. Pada dasarnya hewan
yang merasakan sakit adalah hewan yang memiliki susunan saraf pusat dan
perifer, yaitu semua hewan bertulang belakang. Namun, kalangan masyarakat dunia
yang peduli terhadap kesejahteraan hewan memasukkan hewan yang tidak memiliki
tulang belakang, tetapi mempunyai rasa sakit sebagai hewan yang perlu
diperhatikan kesejahteraannya.
Pasal 42
Penyelenggaraan kesejahteraan hewan dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat agar disadari bahwa masalah
kesejahteraan hewan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu,
pelaksanaan kesejahteraan hewan diutamakan pada upaya peningkatan kesadaran dan
partisipasi masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan hewan, masyarakat dapat membentuk kelembagaan
yang relevan. Contohnya, penggunaan hewan laboratorium untuk pendidikan,
pelatihan, penelitian dan pengembangan.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium
veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan
dalam rangka pelayanan kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium
pemeriksaan dan pengujian veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau
penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan atau zoonosis, pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner,
dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu pakan, mutu bibit/ benih,
dan/atau mutu produk hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa medik veteriner”
adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi dokter hewan yang
diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran hewan, seperti
rumah sakit hewan, klinik hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi
reproduksi hewan, ambulatori, praktik dokter hewan, dan praktik konsultasi
kesehatan hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa di pusat kesehatan
hewan (puskeswan)” adalah layanan jasa medik veteriner yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi
dengan laboratorium veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner.
Ayat (2)
Pemberian izin usaha dari bupati/walikota, selain untuk
memenuhi syarat legalitas dan standar pelayanan minimal, dimaksudkan untuk
mensinergikan pelayanan kesehatan hewan di daerah tersebut dengan siskeswanas
melalui pembinaan otoritas veteriner bekerja sama dengan organisasi profesi
kedokteran hewan setempat.
Apabila cakupan pelayanan kesehatan hewan tersebut
meliputi wilayah provinsi dan/atau lintas provinsi, pemberian izin usaha dari
bupati/walikota tersebut perlu dikonfirmasikan kepada otoritas veteriner
tingkat provinsi yang dimaksud.
Adapun kualifikasi pemberian izin tersebut antara lain
pemberian izin:
a. Rumah Sakit Hewan;
b. Praktik Kedokteran Hewan; dan
c. Laboratorium Keswan dan laboratorium Kesmavet yang
diselenggarakan oleh swasta.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kompetensi medik veteriner” adalah
kecerdasan bertindak dan kemampuan mengambil keputusan di bidang kesehatan
hewan dengan mengacu pada perkembangan ilmu kedokteran hewan terkini;
kepentingan tertinggi, klien, pasien masyarakat luas, dan lingkungan; serta
keluhuran sumpah atau janji dan kode etik profesi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “di bawah penyeliaan dokter hewan”
adalah pengawasan dokter hewan secara berkelanjutan kepada kinerja tenaga para
medik veteriner dan/atau sarjana kedokteran hewan dalam melaksanakan urusan kesehatan
hewan yang dilakukan berdasarkan acuan otoritas veteriner dan/atau kesepakatan
bersama antara kedua belah pihak dengan memperhatikan batas-batas kemampuan.
Pasal 45
Ayat (1)
Surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh
bupati/walikota adalah berupa Surat Tanda Registrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Surat izin praktik kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh
bupati/walikota adalah berupa Surat Tanda Registrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “aparat” adalah pegawai negeri baik
struktural maupun fungsional, pusat maupun daerah, termasuk penyuluh peternakan
dan kesehatan hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “metode pengembangan lainnya” antara
lain, permagangan dan sekolah lapang. Pengembangan sumber daya manusia
peternakan bertujuan, antara lain, untuk meningkatkan keterampilan,
profesionalisme, kewirausahaan, kerjasama, dan meningkatkan dedikasi.
Yang dimaksud dengan “memperhatikan budaya masyarakat”
adalah menghargai kearifan tradisional dan budaya lokal sehingga peningkatan
kualitas sumber daya manusia berikut penerapan teknologi untuk pengembangan
usaha peternakan dan kesehatan hewan di suatu wilayah dapat bersinergi dengan
kebiasaan, tradisi, adat, agama, dan budaya setempat sehingga dapat diterima
oleh masyarakat agar mencapai hasil yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN
JEPARA NOMOR 13.